Di Desa Balai Semandang, Kabupaten Ketapang, Kalbar, sekitar 120 kilometer dari Kota Pontianak, makhluk itu disebut Kek Tung. Ia hanya bersuara di tengah rimba belantara, dan jarang-jarang orang bisa melihat wujud aslinya.
Di daerah lain di pedalaman Kalbar, yakni Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, sekitar 200 kilometer dari Kota Pontianak, makhluk ini disebut Kek Catok. Ada legenda tersendiri, mengapa masyarakat menyebut makhluk ini sebagai Kek Catok.
Tokoh Dayak Simpakng yang telah lama tinggal dan bekerja di Kota Pontianak, FX Beleng (53), menuturkan, hikayat Kek Catok sudah begitu menyatu dalam ritme kehidupan masyarakat pedalaman sebagai penjaga hutan yang paling tua. Itu sebabnya, mereka senantiasa mengelola hutan secara lestari, mempertahankan tradisi berladang, dan menolak perkebunan monokultur yang merusak alam.
“Selain Kek Catok, kami juga menyebutnya togukng, macatn daan, serta remaong. Wujudnya benar-benar berupa satwa, tetapi memiliki nilai mistik melalui suaranya. Jika bersuara, isyarat akan terjadi sesuatu, pada umumnya ke arah yang buruk,” tutur Beleng, yang oleh Komunitas Dayak Simpakng di Kota Pontianak diberi kepercayaan sebagai tamongokng atau semacam kepala adat.
Sesuatu yang buruk tersebut bisa berupa gagal panen, tokoh tertentu akan meninggal dunia, serta malapetaka. Juga isyarat onya sumakng labatn atau orang yang menikah dengan hubungan sedarah yang amat dilarang adat.
“Tapi manusia sekarang bisa berhubungan dengan togukng, melalui keturunannya yang masih hidup hingga kini. Misalnya meminta bantuan mengobati suatu penyakit, atau sebaliknya untuk berperang,” tutur Beleng.
Jadi, hewan mistis itu pernah menikah dengan manusia? Beleng mengangguk dan meyakinkan, hingga saat sekarang pun keturunan susur galurnya masih ada dan hidup biasa seperti orang kebanyakan.
Adoria Nitty (47), petinggi adat Banua Simpakng, yang kesehariannya mendapat mandat sebagai tetua adat di Desa Banjur Karab, Kecamatan Simpang Dua, menuturkan, siapa yang punya susur galur dengan togukng bisa memanggil dia melalui beberapa ritual.
Yakni membakar bulu ayam putih, dengan sesaji berupa daging, hati, dan darah ayam putih, ujung kaki, ujung paruh, dan ujung jengger, serba sedikit dalam kondisi matang dengan dipanggang. Sambil membakar bulu ayam, mantera dirapalkan.
“Apabila mangkuk tempat sesaji yang digantungkan bergoyang-goyang, itulah pertanda Kek Catok akan muncul. Togukng muncul dengan terbang ke atap rumah, disertai suara rantai yang bergesekan dengan lantai,” tutur Nitty.
Pernah melihat wujudnya
Baik Beleng maupun Nitty sama-sama mengaku pernah melihat wujud togukng yang nyata. Meskipun jarang-jarang orang biasa mampu melihatnya langsung, selain hanya mendengar suara “kung kung kung” yang menyeramkan.
Beleng bahkan pernah melihatnya pada 2007 silam, hanya sayangnya sosok langka itu tidak terdokumentasikan. Menurut Beleng, saat itu dirinya berlibur ke kampung, dan mendengar seseorang telah menembak togukng saat berburu di hutan.
Wah, kenapa makhluk mistis ini bisa mati tertembak senapan lantak biasa? Beleng menilai, naas bisa saja menimpa togukng, yakni dalam bahasa lokal disebut kempunan.
Kempunan berarti suatu malapetaka yang sewaktu-waktu bisa menimpa, tanpa bisa diprediksi. Biasanya kempunan terjadi jika kita tidak menyentuh makanan yang ditawarkan seseorang, sebelum kita bepergian. Makanya dalam tradisi masyarakat Dayak, jika saat hendak bepergian tiba-tiba ditawarkan makanan, haruslah diterima, minimal disentuh atau disebut pusak.
“Togukng pun bisa saja kempunan, entahlah apa sebabnya. Akibat kempunan itu, dia bisa mati tertembak pemburu,” ujarnya.
Suatu hari di tahun 2007 itu, di Desa Sekatap, Kecamatan Simpang Dua, sekitar 240 kilometer dari Kota Pontianak, seseorang memberitahu Beleng ada hewan diduga togukng ditembak warga. Ia pun bergegas ke rumah warga itu, dan mengamati bangkai hewan sekira ukuran kambing jantan itu.
“Itu memang togukng karena ciri-cirinya persis penuturan orang-orang tua kita. Ada keanehan di tubuhnya, yakni guratan menyerupai gambar pedang, senapan lantak, parang, dan atribut masyarakat Dayak lainnya,” kata Beleng.
Bagaimana si penembak sampai tak mengenali kalau makhluk itu adalah togukng? Rupanya saat berburu malam hari di tengah hutan, warga itu dikagetkan dengan sosok gelap di atas pohon mengeluarkan suara “kung kung kung” dengan sorot mata berbinar dalam kegelapan.
Kaget disertai takut, reflek dia mengarahkan ujung senapan lantak ke arah kening hewan itu, dan menarik picu. Dor, suara tembakan memecah malam, dan sosok itu pun runtuh ke bumi.
Sampai saat hewan buruan dipikul ke kampung, sang pemburu masih belum menyadari ia telah menembak togukng. Nah, saat pemburu itu tidur malam itu juga, isyarat buruk muncul.
Dia bermimpi bahwa yang ditembak adalah anak macan. Ada semacam ancaman, jika dia kembali masuk hutan dan berjumpa dengan kerabat togukng lainnya, maka dia akan dibunuh sebagai balas dendam kesumat.
“Tiga bulan lamanya, sang penembak itu tak berani keluar rumah. Kami menggelar ritual adat ngurokng minu, artinya mengurung semangat si penembak, agar tidak mengembara ke mana-mana. Ritual ini dipimpin seorang dukun, yang minta perlindungan kepada Yang Kuasa agar tak terjadi mara bahaya,” ujar Beleng.
Seorang warga Simpang Dua (sekitar 240 kilometer dari Kota Pontianak) yang menjadi dosen perguruan tinggi swasta di Kota Pontianak, Maran (41), mengaku pernah melihat sosok Kek Tung. Saat itu, dia masih usia SMP dan hendak mandi di sungai seorang diri pada sore hari, sekitar pukul enam.Di sungai itu berdiri pohon tengkawang yang besar. Di atasnya, dia mendengar suara sayup togukng. Ia pun menengadah, mengarahkan pandangannya ke ketinggian pohon yang sekitar 30-40 meter itu.
Suasana yang mulai agak gelap membuat pandangannya remang-remang melihat satu sosok bergerak dari satu ranting ke ranting lainnya. Suara “kung-kung-kung” terdengar sayup dalam interval yang lambat.
“Saat itu, jiwa saya masih kanak-kanak, jadi tak menyadari kalau itu sebenarnya togukng. Sengaja saya pandang di ketinggian, sosoknya seperti macan tutul, kombinasi warna hitam-putih agak abu-abu. Ukuran tubuh kira-kira sebesar beruang,” kenang Maran.
Maran kecil pun mandi dengan tenang, tanpa prasangka lain. Nah, begitu pulang ke rumah yang tak begitu jauh dari sungai, neneknya segera menyambut di depan pintu.
Sang nenek menanyakan, apakah dia mendengar suara togukng? Ternyata, wanita tua itu ikut mendengar suara itu dari rumah. “Itu tadi suara togukng, ayo cepat masuk ke rumah,” ujar neneknya dengan wajah cemas.
Begitu menyadari baru melihat makhluk mistis yang selama ini hanya didengarnya dari penuturan orangtua, barulah dia merasa ketakutan. Wujud togukng tak hanya dijumpai dalam bentuk yang pernah dilihat Maran.
Pada saat tertentu, bisa juga makhluk ini menyerupai kelempiau (sejenis kera) belang hitam-putih. Kala itu, Maran telah menjadi mahasiswa, dan saat liburan ke kampung, dia seperti biasa masuk ke hutan.
“Karena saya sudah banyak mempelajari tentang togukng, jadi tak kaget lagi saat menjumpai kelempiau aneh itu. Orangtua berpesan, jika berjumpa makhluk ini, biarkan saja, jangan diganggu,” tutur Maran.
Togukng yang bisa menyerupai satwa kelempiau ini dibenarkan Adoria Nitty (47), petinggi adat Banua Simpakng, yang kesehariannya mendapat mandat sebagai tetua adat di Desa Banjur Karab, Kecamatan Simpang Dua. Sebagai hewan mistis setengah hantu, makhluk ini bisa berubah bentuk. Mulanya remaong, sejenis kucing hutan yang besar.
Setelah itu, bentuknya meningkat menjadi remaong daan atau macan dahan, kemudian menjadi macan sebagai bentuk tertinggi. Nah, setelah jadi macan, bisa berubah bentuk menyerupai binatang lain, seperti kelempiau putih atau macan tutul.
Sekitar empat tahun lalu, Nitty juga bertemu togukng, saat menjenguk jeratnya di dalam hutan. Jerat itu dipasang sebagai perangkap hewan buruan, seperti babi hutan.
“Waktu itu, saya berada di hutan Pondok Lebam. Bentuknya rimba utuh yang belum dijamah manusia, di kawasan Hutan Lindung Gunung Juring, wilayah Simpang Dua. Saat itu siang hari, saya kaget mendengar suara menyerupai kucing. Dia muncul di suatu tikungan jalan, berupa kucing besar,” kata Nitty.
Sosok itu berada di atas pohon sejauh 200 meter dari tempat Nitty berada. Meski perannya di kampung sebagai petinggi adat, tetap saja akal sehatnya seakan hilang saat itu. “Saya mengarahkan senapan lantak ke sosok itu, terus menembak. Ternyata salah, dan kucing besar itu lari,” kisah Nitty.
Namun saat bergerak beberapa langkah, sosok itu kembali terlihat hinggap dengan posisi melintang di sebuah pohon. Ia membidik kedua kalinya dan diduga kena.
“Saya temukan bulunya berceceran, tapi tak ada jejaknya. Tapi hati kecil saya menyesal bukan kepalang, mengapa sampai saya membidik togukng,” ungkap Nitty.
Menurut Nitty, togukng punya gaya terbang yang unik. Ia selalu hinggap dengan posisi melintangi batang pohon, bukan membujur seperti layaknya hewan hutan lainnya, seperti memeluk pohon dengan gaya melintang
Stepanus Djuweng (48), pendiri Institut Dayakologi Kalbar, sebuah lembaga riset adat istiadat masyarakat Dayak, pernah melakukan penelitian tentang togukng. Dari berbagai wawancara dengan tetua di sejumlah kampung di Simpang Dua, tergambar bahwa togukng memang punya nilai mistis dan keturunan manusia biasa.
“Pangkalnya bermula dari kisah seorang penduduk kampung Banjur Karab, bernama Kek Catok. Suatu hari, Kek Catok ini menghilang, dan keluarganya mencari kemana-mana, tapi tak kunjung bertemu,” papar Djuweng. Legenda itu diperkirakan terjadi sekitar 100-an tahun silam. Kepergian Kek Catok diduga karena bertemu togukng di alam kehidupan ‘sebelah sana’.
Djuweng menceritakan kembali, suatu saat Kek Catok pergi berburu di hutan belantara dengan senjata tradisional berupa sumpit. Tiba-tiba ia melihat seekor kelempiau, kemudian disumpitnya. Kelempiau (kera) itu tiba-tiba pula menghilang, dan terjatuhlah Kek Catok ke suatu lubang. Ia kemudian terdampar di pontatn, yakni suatu panggung terbuat dari bambu yang digunakan masyarakat Dayak sebagai tempat jemuran padi,
“Jadi, kelempiau yang disumpit Kek Catok rupanya perwujudan togukng dalam bentuk lain,” kata Djuweng.
Dari atas pontatn itu, Kek Catok melihat sekeliling, ternyata sebuah kampung tua dengan rumah betang. Dia bertemu dua orang perempuan, seorang ibu dan seorang gadis. Gadis itu merupakan adik bungsu dari enam saudara yang semuanya laki-laki. Saat itu, keenam laki-laki tersebut sedang pergi membalas dendam ke orang di Kampung Tiokng Kanakng yang telah membutnuh ayah mereka.
Lazimnya rumah betang, memiliki suatu ruang di bawah atap yang disebut tempara. Kedua perempuan itu memasangkan ke tubuh Kek Catok baju layang angin, yakni baju yang bisa membuat seseorang bisa terbang, kemudian menyembunyikan dia tempara. Baju layang angin itu milik mendiang ayah sang gadis dan enam saudaranya.
Di tempara itu, Kek Catok berlindung di balik tujuh lapis badakng, yakni semacam bakul besar khas masyarakat Dayak yang biasa digunakan untuk mengangkut padi. Lalu, enam saudara laki-laki kembali dari Kampung Tiokng Kanakng, dan mencium bau mirip asam kamantatn (sejenis mangga hutan).
“Wah, ini bau manusia, seperti harum asam kamantatn. Kamu menyembunyikan manusia di sini ya,” tutur Djuweng, mencoba merekonstruksi kisah itu.
Para lelaki mencari sampai ke tempara, dan menemukan tujuh lapis badakng yang tertungkup. Saat badang itu dibuka, ajaib, Kek Catok bisa terbang dan kabur melintasi tujuh buah gunung.
Enam lelaki itu tak sanggup membunuh Kek Catok, karena kesaktiannya akibat mengenakan baju layang angin peninggalan mendiang ayah mereka. Akhirnya, Kek Catok diminta menikah dengan adik bungsu mereka. Ketika Kek Catok dan istri alam gaibnya itu memiliki seorang bayi, tibalah saat mengetam padi di ladang. Kek Catok kembali ke dunia manusia, membawa istri barunya berikut anak mereka yang masih merah.
“Di dunia fana, sanak keluarga Kek Catok telah lama melakukan upaya pencarian dengan ritual adat. Kembalinya Kek Catok pada musim panen, sesuai puncak pencarian yang dilakukan istri dan anaknya di dunia,” kata Djuweng. Menurut legenda itu, kembalinya Kek Catok ke dunia setelah banyak ritual pencarian dilakukan. Dia tiba-tiba muncul dengan terbang di Dorik Semugo, sebuah bukit kecil di sebelah Bukit Juring.
“Kek Catok, istri barunya, dan bayi mereka, terbang dan hinggap di sehelai daun pisang,” tutur Djuweng.
Tentu saja, istri dan anaknya yang ada di dunia kaget, melihat Kek Catok datang membawa seorang istri baru dan bayi yang masih merah. Kek Catok pun berkisah mengenai ke mana perginya selama ini.
Sang istri pun akhirnya pasrah, karena meyakini itulah nasibnya. Ia meminta bantuan, karena ladang sudah saatnya dituai dan padi begitu banyak. Ajaib, hanya dalam semalam, panen dan angkut padi dari ladang ke lumbung selesai.Kek Catok kemudian bolak balik ke dunia nyata dan maya. Bayinya, yang dinamai Pateh Carot, dan istri barunya, kembali ke ‘alam lain’ begitu panen selesai. Meski begitu, mereka tetap berhubungan dengan ritual tertentu, meski hidup di dua alam berbeda.
Akhirnya, Kek Catok meninggal di dunia nyata. Sesuai tradisi kuno masyaakat Dayak, jenazah dibalut dengan tikar pandan, kemudian dimakamkan. Beberapa saat sebelum jasad Kek Catok dikebumikan, orang membuka gulungan tikar itu untuk memandang terakhir kalinya. Anehnya, sosok itu hilang dari dalam gulungan tikar, dan diyakini diambil pihak keluarganya di dunia ‘sebelah sana’.
“Setelah itu, antara Pateh Carot dan saudara se-ayah di bumi tetap menjalin hubungan. Seorang anak Kek Catok dibumi beranak pinak, dan keturunannya masih ada sampai sekarang. Hubungan yang terjalin, masih tetap terjalin sehingga sewaktu-waktu bisa dimintai pertolongan,” ujar Djuweng.
Apa cerita kek cetok hanya sebuah kisah kepercayaan masyarakat Dayak saja,atau termasuk hewan cryptozoology, hybrid, yg belum pernah dilaporkan sebelumnya,dan klo memang wujudnya terlihat dengan jelas dan blm adanya bukti otentik yg dapat membenarkan mahkluk jenis ini, mungkin tim peneliti bisa mengetahui jenis hewan/mahkluk yg tergolong baru atau juga mahkluk jadi2an/mistis yg menjadi kepercayaan kebanyakan Masyarakat Indonesia….?
0 comments:
Post a Comment