Leadership (kepemimpinan) membahas ciri, karakter, dan pengaruh seorang pemimpin terhadap organisasi. Sementara institutional development (pengembangan kelembagaan), menurut Douglass North (1990), adalah “the rule of the game”.
North menegaskan perlu adanya perubahan tatanan, lembaga, organisasi, dan aturan untuk mendukung suatu sistem yang dianut. Artinya—jika kita mengambil definisi menurut penerima hadiah nobel itu—bila seorang pemimpin negara mengatakan bahwa sistem ekonomi nasional adalah “kapitalistik”, maka tatanan sosial dan politik harus disesuaikan untuk mendukung jalannya sistem kapitalistik itu. Oleh karena itu, diskusi kepemimpinan tak bisa terpisah dari diskusi mengenai pengembangan kelembagaan.
Praktik Leadership di Masa Lalu
Sejarah telah menunjukan bahwa leadership dan institutional development sangat mendukung kelangsungan hidup bangsa. Ketika Ratu Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwardhani mengangkat Mahapatih Gajah Mada pada sekitar tahun 1328, dan leadership sang ratu diteruskan oleh Raja Hayam Wuruk, kekuasaan Majapahit berlangsung hingga 250 tahun. Majapahit menjadi penguasa regional pada saat itu, di mana tlatah kekuasaannya sangat luas. Bandingkan dengan Amerika yang saat ini berusia 234 tahun.
Inilah contoh praktik leadership dan institutional development. Dengan sistem pemerintahan kerajaan (monarki), Ratu Tribhuwana sebagai pemimpin Majapahit terlepas dari mitos-mitos yang beredar bahwa ibu surilah yang mengatur segalanya. Dia bersedia membagi tugas kekuasaan antara dirinya sebagai tokoh panutan dengan Mahapatih Gajah Mada sebagai tokoh pemersatu dan pemilik otoritas untuk mengelola seluruh wilayah kerajaan Majapahit.
Seperti yang dituliskan dalam Kitab Negarakertagama dan sumber tertulis lainnya, domain kekuasaan Majapahit dibagi dalam tiga wilayah umum, yaitu kawasan istana dan sekitarnya, wilayah Jawa Timur dan Bali, serta wilayah besar yang terentang dari Sumatera dan Semenanjung Melayu sampai ke Pulau Irian. Daerah di luar Jawa Timur dan Bali dikelola dengan menganut sistem otonomi wilayah, di mana ikatan antara pusat kekuasaan dan wilayah kekuasaan dibangun berdasarkan perdagangan—bukan ikatan militer atau administrasi.
Bayangkan leadership dan institutional development yang demikian telah ada sejak 1328—kurang lebih 300 tahun sebelum Harvard University didirikan pada tahun 1636. Seperti kita ketahui, Harvard adalah “center for excellence” tertua serta sekolah yang menghasikan 8 presiden Amerika, termasuk Barack Obama.
Kemegahan Majapahit telah menarik perhatian penjelajah dari negara lain seperti Italia dan Cina. Majapahit adalah salah satu rujukan identitas Republik Indonesia. Rujukan lainnya adalah Sriwijaya, namun dokumentasi tertulis mengenai kerajaan ini tidaklah selengkap Majapahit.
Leadership pada Kerajaan Sriwijaya lebih menekankan pada akumulasi kekuasaan di satu tangan, yakni pada raja. Namun demikian, institutional development Sriwijaya hampir mirip dengan Majapahit. Domain kekuasaan Sriwijaya dibagi tiga, yaitu Ibukota Negara (Palembang), daerah hinterland (kawasan Sungai Musi), dan Wilayah Taklukan yang mencakup Sumatera, Semenanjung Melayu, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Filipina, dan Maluku.
Daerah taklukan itu mengikat hubungan dengan pusat kerajaan melalui kegiatan perdagangan dan didukung oleh kekuatan angkatan laut yang sangat tangguh. Penyelenggaraan pemerintah daerah melalui sistem otonomi di Sriwijaya bukan melalui kontrol administratif atau militer.
Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7, dengan leadership dan institutional development seperti itu, telah bertahan selama 600 tahun. Bandingkan dengan universitas tertua di dunia, yaitu Universitas Bologna di Italia yang baru berdiri pada tahun 1088, dan Universitas Oxford di Inggris yang baru berdiri pada 1096. Kedua lembaga pendidikan tersebut adalah tempat menggodok para pemimpin di Eropa sehingga menguasai seluruh dunia, termasuk benua Amerika. Kurang lebih 300 tahun sebelum lembaga-lembaga pendidikan tertua di dunia itu berdiri, Sriwijaya telah mengembangkan leadership dan institutional development yang canggih dan berlangsung hingga ratusan tahun.
Selain kerajaan-kerajaan skala regional yang telah berkembang, banyak pula kerajaan skala lokal di Indonesia, yang bertahan selama ratusan tahun. Misalnya Kerajaan Tarumanegara (300 tahun), Kerajaan Pasundan (900 tahun), Kesultanan Aceh (500 tahun), Kesultanan Banten (300 tahun), dan Kesultanan Mataram (200 tahun). Fakta seperti ini harus menjadi inspirasi bagi para pimpinan, baik di sektor publik dan sektor swasta, sebagai landasan untuk memikirkan masa depan Republik Indonesia.
Krisis Leadership di Tanah Air
Alih-alih sibuk membanggakan kejayaan masa lalu, para pemimpin di Indonesia perlu menimbang pengalaman masa lalu agar mereka mengetahui sejauh mana harus melangkah ke depan. Untuk itu, leadership dan institutional development yang dimiliki oleh bangsa kita saat ini perlu ditelaah, sebagai landasan untuk meneropong masa depan Republik Indonesia.
Sumber kekhawatiran utama akan masa depan republik tercinta ini adalah keyakinan para pemimpin nasional bahwa tanpa usaha serius dan kerja keras sekalipun, apa yang terbentuk pada masa Sriwijaya dan Majapahit dapat terwujud dengan sendirinya—yaitu terpeliharanya negara kesatuan Republik Indonesia.
Keyakinan buta seperti itu telah terjadi selama rezim Soeharto berkuasa. Pada masa itu, seluruh bangsa manut bahwa UUD 45 adalah final dan mutlak. Penentang sakralisasi konstitusi akan terkena ancaman pengkhianatan dan mendapatkan label disiden (pembangkang), seperti yang dikatakan oleh Soedomo. Tetapi sejarah telah mencatat, sebagai buatan manusia, UUD 45 memang perlu terus-menerus disempurnakan. Jika preseden ini tidak dapat dihilangkan, ada kemungkinan kelangsungan hidup bangsa akan terancam.
Saat ini, krisis leadership sedang melanda Tanah Air, walaupun pembinaan leadership di segala bidang sangat gencar. Hal ini terjadi karena leadership digarap terpisah dari institutional development. Lubang masalah semakin menganga karena institutional development yang ada saat ini justru menghasilkan chairmanship, yakni karakter pimpinan lembaga pemerintah/swasta yang berorientasi administratif dan lebih pamer kekuasaan. Hal ini sangat mudah dikenali. “I’m just doing my job” adalah ungkapan khas. Seorang Kolonel Angkatan Darat akan tega menembak mati demonstran di jalan dengan alasan bahwa “saya hanya menjalankan perintah atasan”. Karakter umum lainnya adalah pamer kekuasaan. Walaupun tindakannya telah membawa bencana bagi rakyat banyak, individu dengan karakter chairmanship pantang mundur dari jabatannya.
Perlu diketahui, dengan materi leadership training yang sama tetapi institutional development yang berbeda, maka program training tersebut akan menghasilkan dua karakter berbeda: penguasa atau pemimpin. Contohnya adalah menyangkut materi training yang mengajarkan definisi dasar pemimpin yaitu orang yang bisa memotivasi orang lain untuk berbuat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Alumni training yang berkarakter penguasa akan menggunakan ilmunya untuk mengeksploitasi manusia lainnya dengan menganut falsafah dasar ilmu ekonomi mikro atau operation research: “minimum effort maximum result, then if you are the chairman show your power”.
Indonesia saat ini berpegang pada institutional development yang lebih berorientasi kepada mencetak penguasa ketimbang pemimpin. Runyamnya, faktor “impressive lineage” lebih banyak bermain. Anak pembesar, bagaimanapun bodohnya dan lulusan sekolah antah-berantah di Amerika, akan mendapatkan promosi kilat dibandingkan anak rakyat jelata yang lulus dari Princeton University, misalnya.
Soal impressive lineage juga tengah merusak tatanan politik Amerika Serikat. Keluarga Bush yang merusak ekonomi Amerika menduduki berbagai jabatan politik strategis, seperti presiden, gubernur, dan lainnya. Al-Gore juga besar dari keluarga politisi. Begitu pula keluarga Kennedy yang terkenal sebagai keluarga politisi di AS. Contoh lainnya, saat ini anak dari Ron Paul (anggota Partai Republik AS), yakni Rand Paul, sedang bergulat untuk menjadi politisi dari Kentucky.
Di Indonesia, maraknya praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kerusakan integritas moral penegak hukum, dan lainnya justru kian berkembang di masa yang disebutkan sebagai era reformasi. Laporan DPR RI menyatakan bahwa anggaran pemberantasan korupsi berhasil dinaikkan, dan ironisnya kasus korupsi justru semakin meningkat.
Gambaran buram institutional development di Indonesia saat ini justru diperburuk dengan kenyataan bahwa Indonesia setelah dikuasai oleh diktator sipil, lalu dilanjutkan oleh diktator militer, pada akhirnya kini telah jatuh ke tangan demokrat-militer. Atribut militer ini memang mengandung kelemahan yang sangat besar sebagai unsur pimpinan bangsa karena militer sudah terpaku pada jenjang komando, dan hal itu sangat sulit untuk dihilangkan.
Dari pengalaman penulis meneliti kegiatan di Lemhanas, institutional development militer Indonesia mencoba meniru gaya Mataram yang sarat dengan mitos-mitos Majapahit. Hal tersebut ditambah lagi dengan disorientasi leadership training yang terlalu beragam dengan penggabungan seluruh atribut leadership, mulai dari teori Abraham Maslow hingga Peter Drucker. Begitu banyaknya bahan yang dicangkokkan di kepala para peserta kursus pimpinan tersebut, sehingga setiap orang lupa bahwa faktor dasar seorang pemimpin itu sangat sederhana. Hal dasar tersebut harus dikuasai dengan praktik, bukan teori.
Faktor moral merupakan hal yang penting, tetapi tanpa ikatan spiritual faktor moral itu hanya akan menjadi jargon. Pemimpin harus takluk kepada sumber kekuatan spiritual di luar nalar manusia biasa. Pemimpin yang muslim, contohnya, harus benar-benar menjunjung nilai Islam yang hakiki—bukan menjadi fanatik atau fundamentalis. Nilai dasar Islam adalah “blessing to the universe” atau Rahmatan lil ‘alamin. Jadi, jika ada orang Islam yang mengompori umatnya untuk memusuhi umat lain, hal itu sudah melawan “true message” dari Islam. Ikatan spiritual bukan dilihat dari berapa kali seseorang naik haji. Ikatan spiritual membentuk orang beragama untuk terdorong berbuat baik kepada orang lain.
Seperti pesan Albert Eisntein, “Only a life lived for others is worth living”. Tetapi, pesan yang lebih universal datang lebih awal, sekitar abad ke-7, berasal dari Rasulullah S.A.W., “The best of people are those that bring most benefit to the rest of mankind”. Sifat utama seorang pemimpin adalah adil dalam segala hal. Dalam konteks yang lebih luas lagi, seorang pemimpin harus sanggup menjaga keseimbangan, misalnya antara urusan rumah tangga dan profesi, atau antara fungsi manajerial dan fungsi panutan.
Usaha untuk mengembangkan leadership perlu diteruskan dengan gigih, namun perlu didukung oleh institutional development yang mendukung sehingga dapat mencetak pemimpin yang tak hanya memiliki kemampuan atau keahlian, tetapi juga memiliki kualitas moral-spiritual, mampu memberikan manfaat pada masyarakat luas, serta dapat bersikap adil.
North menegaskan perlu adanya perubahan tatanan, lembaga, organisasi, dan aturan untuk mendukung suatu sistem yang dianut. Artinya—jika kita mengambil definisi menurut penerima hadiah nobel itu—bila seorang pemimpin negara mengatakan bahwa sistem ekonomi nasional adalah “kapitalistik”, maka tatanan sosial dan politik harus disesuaikan untuk mendukung jalannya sistem kapitalistik itu. Oleh karena itu, diskusi kepemimpinan tak bisa terpisah dari diskusi mengenai pengembangan kelembagaan.
Praktik Leadership di Masa Lalu
Sejarah telah menunjukan bahwa leadership dan institutional development sangat mendukung kelangsungan hidup bangsa. Ketika Ratu Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwardhani mengangkat Mahapatih Gajah Mada pada sekitar tahun 1328, dan leadership sang ratu diteruskan oleh Raja Hayam Wuruk, kekuasaan Majapahit berlangsung hingga 250 tahun. Majapahit menjadi penguasa regional pada saat itu, di mana tlatah kekuasaannya sangat luas. Bandingkan dengan Amerika yang saat ini berusia 234 tahun.
Inilah contoh praktik leadership dan institutional development. Dengan sistem pemerintahan kerajaan (monarki), Ratu Tribhuwana sebagai pemimpin Majapahit terlepas dari mitos-mitos yang beredar bahwa ibu surilah yang mengatur segalanya. Dia bersedia membagi tugas kekuasaan antara dirinya sebagai tokoh panutan dengan Mahapatih Gajah Mada sebagai tokoh pemersatu dan pemilik otoritas untuk mengelola seluruh wilayah kerajaan Majapahit.
Seperti yang dituliskan dalam Kitab Negarakertagama dan sumber tertulis lainnya, domain kekuasaan Majapahit dibagi dalam tiga wilayah umum, yaitu kawasan istana dan sekitarnya, wilayah Jawa Timur dan Bali, serta wilayah besar yang terentang dari Sumatera dan Semenanjung Melayu sampai ke Pulau Irian. Daerah di luar Jawa Timur dan Bali dikelola dengan menganut sistem otonomi wilayah, di mana ikatan antara pusat kekuasaan dan wilayah kekuasaan dibangun berdasarkan perdagangan—bukan ikatan militer atau administrasi.
Bayangkan leadership dan institutional development yang demikian telah ada sejak 1328—kurang lebih 300 tahun sebelum Harvard University didirikan pada tahun 1636. Seperti kita ketahui, Harvard adalah “center for excellence” tertua serta sekolah yang menghasikan 8 presiden Amerika, termasuk Barack Obama.
Kemegahan Majapahit telah menarik perhatian penjelajah dari negara lain seperti Italia dan Cina. Majapahit adalah salah satu rujukan identitas Republik Indonesia. Rujukan lainnya adalah Sriwijaya, namun dokumentasi tertulis mengenai kerajaan ini tidaklah selengkap Majapahit.
Leadership pada Kerajaan Sriwijaya lebih menekankan pada akumulasi kekuasaan di satu tangan, yakni pada raja. Namun demikian, institutional development Sriwijaya hampir mirip dengan Majapahit. Domain kekuasaan Sriwijaya dibagi tiga, yaitu Ibukota Negara (Palembang), daerah hinterland (kawasan Sungai Musi), dan Wilayah Taklukan yang mencakup Sumatera, Semenanjung Melayu, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Filipina, dan Maluku.
Daerah taklukan itu mengikat hubungan dengan pusat kerajaan melalui kegiatan perdagangan dan didukung oleh kekuatan angkatan laut yang sangat tangguh. Penyelenggaraan pemerintah daerah melalui sistem otonomi di Sriwijaya bukan melalui kontrol administratif atau militer.
Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7, dengan leadership dan institutional development seperti itu, telah bertahan selama 600 tahun. Bandingkan dengan universitas tertua di dunia, yaitu Universitas Bologna di Italia yang baru berdiri pada tahun 1088, dan Universitas Oxford di Inggris yang baru berdiri pada 1096. Kedua lembaga pendidikan tersebut adalah tempat menggodok para pemimpin di Eropa sehingga menguasai seluruh dunia, termasuk benua Amerika. Kurang lebih 300 tahun sebelum lembaga-lembaga pendidikan tertua di dunia itu berdiri, Sriwijaya telah mengembangkan leadership dan institutional development yang canggih dan berlangsung hingga ratusan tahun.
Selain kerajaan-kerajaan skala regional yang telah berkembang, banyak pula kerajaan skala lokal di Indonesia, yang bertahan selama ratusan tahun. Misalnya Kerajaan Tarumanegara (300 tahun), Kerajaan Pasundan (900 tahun), Kesultanan Aceh (500 tahun), Kesultanan Banten (300 tahun), dan Kesultanan Mataram (200 tahun). Fakta seperti ini harus menjadi inspirasi bagi para pimpinan, baik di sektor publik dan sektor swasta, sebagai landasan untuk memikirkan masa depan Republik Indonesia.
Krisis Leadership di Tanah Air
Alih-alih sibuk membanggakan kejayaan masa lalu, para pemimpin di Indonesia perlu menimbang pengalaman masa lalu agar mereka mengetahui sejauh mana harus melangkah ke depan. Untuk itu, leadership dan institutional development yang dimiliki oleh bangsa kita saat ini perlu ditelaah, sebagai landasan untuk meneropong masa depan Republik Indonesia.
Sumber kekhawatiran utama akan masa depan republik tercinta ini adalah keyakinan para pemimpin nasional bahwa tanpa usaha serius dan kerja keras sekalipun, apa yang terbentuk pada masa Sriwijaya dan Majapahit dapat terwujud dengan sendirinya—yaitu terpeliharanya negara kesatuan Republik Indonesia.
Keyakinan buta seperti itu telah terjadi selama rezim Soeharto berkuasa. Pada masa itu, seluruh bangsa manut bahwa UUD 45 adalah final dan mutlak. Penentang sakralisasi konstitusi akan terkena ancaman pengkhianatan dan mendapatkan label disiden (pembangkang), seperti yang dikatakan oleh Soedomo. Tetapi sejarah telah mencatat, sebagai buatan manusia, UUD 45 memang perlu terus-menerus disempurnakan. Jika preseden ini tidak dapat dihilangkan, ada kemungkinan kelangsungan hidup bangsa akan terancam.
Saat ini, krisis leadership sedang melanda Tanah Air, walaupun pembinaan leadership di segala bidang sangat gencar. Hal ini terjadi karena leadership digarap terpisah dari institutional development. Lubang masalah semakin menganga karena institutional development yang ada saat ini justru menghasilkan chairmanship, yakni karakter pimpinan lembaga pemerintah/swasta yang berorientasi administratif dan lebih pamer kekuasaan. Hal ini sangat mudah dikenali. “I’m just doing my job” adalah ungkapan khas. Seorang Kolonel Angkatan Darat akan tega menembak mati demonstran di jalan dengan alasan bahwa “saya hanya menjalankan perintah atasan”. Karakter umum lainnya adalah pamer kekuasaan. Walaupun tindakannya telah membawa bencana bagi rakyat banyak, individu dengan karakter chairmanship pantang mundur dari jabatannya.
Perlu diketahui, dengan materi leadership training yang sama tetapi institutional development yang berbeda, maka program training tersebut akan menghasilkan dua karakter berbeda: penguasa atau pemimpin. Contohnya adalah menyangkut materi training yang mengajarkan definisi dasar pemimpin yaitu orang yang bisa memotivasi orang lain untuk berbuat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Alumni training yang berkarakter penguasa akan menggunakan ilmunya untuk mengeksploitasi manusia lainnya dengan menganut falsafah dasar ilmu ekonomi mikro atau operation research: “minimum effort maximum result, then if you are the chairman show your power”.
Indonesia saat ini berpegang pada institutional development yang lebih berorientasi kepada mencetak penguasa ketimbang pemimpin. Runyamnya, faktor “impressive lineage” lebih banyak bermain. Anak pembesar, bagaimanapun bodohnya dan lulusan sekolah antah-berantah di Amerika, akan mendapatkan promosi kilat dibandingkan anak rakyat jelata yang lulus dari Princeton University, misalnya.
Soal impressive lineage juga tengah merusak tatanan politik Amerika Serikat. Keluarga Bush yang merusak ekonomi Amerika menduduki berbagai jabatan politik strategis, seperti presiden, gubernur, dan lainnya. Al-Gore juga besar dari keluarga politisi. Begitu pula keluarga Kennedy yang terkenal sebagai keluarga politisi di AS. Contoh lainnya, saat ini anak dari Ron Paul (anggota Partai Republik AS), yakni Rand Paul, sedang bergulat untuk menjadi politisi dari Kentucky.
Di Indonesia, maraknya praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kerusakan integritas moral penegak hukum, dan lainnya justru kian berkembang di masa yang disebutkan sebagai era reformasi. Laporan DPR RI menyatakan bahwa anggaran pemberantasan korupsi berhasil dinaikkan, dan ironisnya kasus korupsi justru semakin meningkat.
Gambaran buram institutional development di Indonesia saat ini justru diperburuk dengan kenyataan bahwa Indonesia setelah dikuasai oleh diktator sipil, lalu dilanjutkan oleh diktator militer, pada akhirnya kini telah jatuh ke tangan demokrat-militer. Atribut militer ini memang mengandung kelemahan yang sangat besar sebagai unsur pimpinan bangsa karena militer sudah terpaku pada jenjang komando, dan hal itu sangat sulit untuk dihilangkan.
Dari pengalaman penulis meneliti kegiatan di Lemhanas, institutional development militer Indonesia mencoba meniru gaya Mataram yang sarat dengan mitos-mitos Majapahit. Hal tersebut ditambah lagi dengan disorientasi leadership training yang terlalu beragam dengan penggabungan seluruh atribut leadership, mulai dari teori Abraham Maslow hingga Peter Drucker. Begitu banyaknya bahan yang dicangkokkan di kepala para peserta kursus pimpinan tersebut, sehingga setiap orang lupa bahwa faktor dasar seorang pemimpin itu sangat sederhana. Hal dasar tersebut harus dikuasai dengan praktik, bukan teori.
Faktor moral merupakan hal yang penting, tetapi tanpa ikatan spiritual faktor moral itu hanya akan menjadi jargon. Pemimpin harus takluk kepada sumber kekuatan spiritual di luar nalar manusia biasa. Pemimpin yang muslim, contohnya, harus benar-benar menjunjung nilai Islam yang hakiki—bukan menjadi fanatik atau fundamentalis. Nilai dasar Islam adalah “blessing to the universe” atau Rahmatan lil ‘alamin. Jadi, jika ada orang Islam yang mengompori umatnya untuk memusuhi umat lain, hal itu sudah melawan “true message” dari Islam. Ikatan spiritual bukan dilihat dari berapa kali seseorang naik haji. Ikatan spiritual membentuk orang beragama untuk terdorong berbuat baik kepada orang lain.
Seperti pesan Albert Eisntein, “Only a life lived for others is worth living”. Tetapi, pesan yang lebih universal datang lebih awal, sekitar abad ke-7, berasal dari Rasulullah S.A.W., “The best of people are those that bring most benefit to the rest of mankind”. Sifat utama seorang pemimpin adalah adil dalam segala hal. Dalam konteks yang lebih luas lagi, seorang pemimpin harus sanggup menjaga keseimbangan, misalnya antara urusan rumah tangga dan profesi, atau antara fungsi manajerial dan fungsi panutan.
Usaha untuk mengembangkan leadership perlu diteruskan dengan gigih, namun perlu didukung oleh institutional development yang mendukung sehingga dapat mencetak pemimpin yang tak hanya memiliki kemampuan atau keahlian, tetapi juga memiliki kualitas moral-spiritual, mampu memberikan manfaat pada masyarakat luas, serta dapat bersikap adil.
0 comments:
Post a Comment